Marhaini/20093602004
Abstrak
Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya ( Direktorat Jenderal Mineral batubara dan Panas Bumi Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008).
Vegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang, vegetasi mencakup establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran pemukiman, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan ini secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas dan kualitas air.
Penggunaan cendawan mikoriza terhadap tanaman kehutanan yang ditanam pada lahan-lahan marginal, seperti lahan-lahan bekas tambang yang tercemar logam berat banyak memberikan keuntungan. Sebagai contoh, inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman Thiocospermum burretii, Acacia mangium, dan paraserianthes falcataria terbukti potensial untuk mereklamasikan lahan kritis bekas penambangan. Jenis-jenis tanaman tersebut pertumbuhannya mampu meningkat 2 – 3 kali lipat disbanding dengan tanaman control.
Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M/PE/1995 tentang Pencegahan dan penanggulanganPerusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan pertambangan umum. Pada Pasal 12 aat (1) reklamasi areal bekas`tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas peringkat ke-8 dunia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah akan sumber daya tambang. Perkembangan pertambangan di Indonesia sangat tinggi, dari pertambangan batu bara, minyak bumi, emas, timah, perak dan logam lainnya.
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Sedangkan untuk pertambangan bawah (underground mining) kerusakan lingkungan
Untuk mendapatkan bahan-bahan tambang ini melalui proses penggalian, pengerukan, pencucian, pemurnian dan lain sebagainya. Tahapan proses yang berlangsung untuk mendapatkan logam-logam dalam bentuk murni merupakan sumber dari pencemaran lingkungan. Pada proses pencucian dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar, karena secara tidak langsung tanah dan air tercemar. Hal tersebut berdampak negatif pada tanaman yang ada yaitu kesulitan untuk hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat contohnya logam air raksa (Hg), Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb), dan Khrom (Cr) biasanya memiliki efek meracuni bagi makhluk hidup.
Daerah pertambangan pada umumnya dipersepsikan sebagai daerah dengan kondisi lahan yang kritis dan tercemar oleh limbah beracun. Sebagai contoh pada tailing penambangan emas, logam-logam berat yang beracun terdiri atas selenium, sulfur, chromium, cadmium, nikel, seng dan tembaga. Pada lahan bekas tambang selain dijumpai limbah beracun, juga terdapat beberapa tumbuhan pionir yang telah beradaptasi dengan kondisi kritis dan tercemar.
Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Djunaedi, 1997). Lahan kritis juga disebut sebagai lahan marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu, kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup (dalam keadaan tercekam).
1.2. Permasalahan
Permasalahan yang sering kita hadapi sekarang ini adalah adanya berbagai kepentingan yang ingin memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di Indonesia. Adanya Otonomi daerah, yang masing-masing daerah ingin memanfaatkan sumberdaya yang ada seoptimal mungkin. Disisi lain, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan, akibat dampak pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mengindahkan aspek kelestariannya.
1.3. Tujuan
1. Rehabilitasi lahan melalui berbagai cara, antara lain dengan : Reboisasi, penghijauan, penanaman kembali dengan tanaman perkebunan, tanaman pertanian pada lahan bekas tambang, dll.
2. Memperbaiki stabilitas lahan, mempercepat penutupan tanah dan mengurangu surface run off dan erosi tanah
3. Meningkatkan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih produktif, sehingga bias diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tatapi juga dapat menghasilkan non kayau ( rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan,dll) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya.
4. Membantu mempercepat terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan biodiversity spesies local, serta penyelamatan dan pemanfaatan jenis tanaman potensial yang telah langka.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Lahan – Lahan Kritis Bekas Penambangan
Kendala utama dalam melakukan aktivitas vegetasi pada lahan-lahan terbuka bekas penambangan adalah kondisi tanah yang marginal bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Untuk dapat mengatasi masalah ini, maka karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah perlu diketahui.
a. Kondisi Fisik Tanah
Berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan menyebabkan rusaknya struktur, teksttur, porositas dan bulk density sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya system tata air (water infiltration and percolation) dan aerasi (peredaran udara) yang secara langsung dapat membawa dampak negative terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai absorpsi unsure hara akan terganggu. Akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal tatapi tetap kerdil dan tumbuh merana.
b. Kondisi Kimia Tanah
dalam profil tanah yang normal lapisan tanah atas merupakan sumber unsure-unsur hara makro dan mikro bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu juga berfungsi sebagai sumber lahan organic untuk menyokong kehidupan mikroba. Hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang proses pembentukannya memakan waktu ratusan tahun (Bradshaw, 1983) dianggap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan-lahan bekas pertambangan. Kekahatan unsure hara esensial seperti Nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman tanah (pH yang rendah) merupakan kendala umum dan utama yang ditemui pada tanah-tanah bekas kegiatan pertambangan.
Tanah bekas tambang yang akan ditanam biasanya berupa campuran dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara tidak beraturan dengan komposisi campurannya sangat berbeda satu tapak ke tapak lainnya. Hal ini tentunya mengakibatkan sangat bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan unsure hara pada areal-areal yang ditanami. Karena besarnya variasi ini maka sangat menyulitkan dalam menentukan takaran soil amandement atau soil ameliorant yang perlu diberikan guna memperbaiki kondisi tanah-tanah tersebut.
c. Kondisi Biologi Tanah
Hilangnya lapisan top soil dan serasah (liter layer) sebagai sumber karbon untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama buruknya kondisi populasi mikroba tanah. Hal ini secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di permukaan tanah tersebut.
Keadaan mikroba tanah potensial dapat memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsure hara, tetapi juga aktif dalam komposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah.
Jenis-jenis mikroba tanah yang memberikan banyak manfaat diantaranya bakteri penambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat. Selain bakteri, cendawan mikroriza sangat mutlak diperlukan pada lahan-lahan bekas tambang. Beberapa tanaman juga sangat tergantung untuk kehidupannya pada jenis cendawan ini (Vogel, 1987). Kemampuan cendawan mikoriza tidak hanya terbatas pada peningkatan solibilitas mineral dan memperbaiki absorpsi nutrisi tanaman (terutama fosfat), tetapi juga dapat mengurangi stress karena temperature dan serangan pathogen akar. Dengan cara tersebut maka daya hidup dan pertumbuhan tanaman pada lahan marginal dapat ditingkatkan.
2.2. Peranan Cendawan Mikoriza Dalam Reklamasi Lahan Bekas Penambangan
Pada umumnya penelitian mikoriza di lahan-lahan tambang diarahkan untuk mengetahui keberadaannya mikoriza untuk memonitor perkembangan system perakaran mikoriza. Schramm (1966) menemukan hampir semua kolonosasi yang berhasil dilahan tambang batubara di Pensylvania bermikoriza, terutama spesies Pinus, Betula, Populus dan Salix. Benih-benih pinus yang dilindungi dari temperature permukaaan yang tinggi dengan cepat akan bermikoriza. Schramm menyimpulkan bahwa inkulum yang berlimpah bukanlah factor penentu keberhasilan asosiasi cendawan mikoriza dengan perakaran tanaman. Dengan pengecualian pada Rhizobium, tanaman inang mikoriza umumnya tidak berhasil membentuk kolonisasi. Kegagalan asosiasi ini mungkin disebabkan ketidakmampuan tanaman untuk memperoleh nitrogen tanah yang cukup, juga air dan fosfor yang biasanya terbatas.
Adanya penambahan inokulum mikoriza dapat menurunkan penundaan waktu infeksi, mungkin ini prosedur yang diinginkan dalam pengelolaan lahan tambang. Untuk mendapatkan asosiasi mikoriza lebih cepat, inokulum harus diintroduksikan kelahan reklamasi. Introduksi inokulum efektif akan lebih bermanfaat, seperti dinyatakan oleh Mosse et al (1981) bahwa fase bibit mungkin merupakan fase yang sangat tergantung pada mikoriza, baik untuk tumbuhan tahunan maupun tumbuhan semusim.
Schramm (1966) melalui penyelidikannya di lahan tambang batubara di Pennsylvania menunjukkan bahwa mikoriza tidak hanya bermanfaat tetapi juga penting bagi pertumbuhan tanaman dilahan bekas penambangan. Lahan-lahan tersebut berusia antara 30 – 36 tahun, masam dan suhu permukaan yang tinggi atau kelembaban yang kurang. Dinyatakan bahwa temperature permukaan yang tinggi atau kelembaban yang kurang membatasi proses awal dalam perkembangan tanaman. Reklamasi lahan bekas pernambangan dengan tanaman non-fiksasi nitrogen hanya mungkin dengan pengaturan lingkungan mikro sekitar batang dan membuat system perakaran bibit yang bermikoriza.
Spesies pohon bermikoriza yang digunakan pada tanah-tanah pertambangan , karena pohon-pohon bermikoriza dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah pertambangan, ketergantungan pada mikoriza dan respon pertumbuhan akan menyediakan informasi yang diperlukan bagi perencanaan pengelolaan tanah-tanah pertambangan.
Tanah-tanah pertambangan mengandung logam-logam beracun dalam konsentrasi yang tinggi dan ini mengarahkan pada pernyataan spekulatif bahwa mikoriza dapat mengurangi toksisitas dan dapat meningkatkan toleransi tanaman pada tanah-tanah dengan karakteristik tinggi kandungan logam-logam berat
2.3. Proses terbentuknya AMD Dari Bekas Penambangan
AMD terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfide tertentu (misalnya pirit, markasit, kalkopirit, dll) yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara dalam lingkungan berair (Gautama, 2007). Oksidasi ini menghasilkan asam sulfat yang termasuk asam kuat dan melepaskan ion hidrogen, kedua senyawa inilah yang mengakibatkan meningkatnya kemasaman pada lingkungan tersebut. Reaksi oksidasi menurut Wilkipedia dapat diringkas:
2 FeS2 (s) + 7 O2 (g) + 2 H2O (l) → 2 Fe++ (aq) + 4 SO4= (aq) + 4 H+ (aq)
Menurut Wilkipedia tempat-tempat yang berpotensi menghasilkan AMD adalah tanah yang tertinggal (di bawah deposit bahan galian), overburden pill (tumpukan lapisan batuan di atas deposit bahan galian), stock pill (tumpukan bahan galian), fasilitas pemurnian, tempat pencucian, limbah batubara, lumpur tailling.
Pada kawasan yang menerapkan penambangan terbuka, seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan galian disingkirkan sehingga lapisan tanah yang mengandung bahan organik menjadi hilang. Hilangnya bahan organik dan meningkatnya kemasaman lahan akan sangat menguntungkan bagi populasi bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) seperti Thiobacillus spp dan Leptospirillum spp, karena bakteri ini merupakan bakteri yang suka asam (acidophillic) dan memerlukan sumber C dari bahan anorganik (chemo-litho-autotroph) (Wentzel, 2004). Aktivitas bakteri ini akan meningkatkan laju terjadinya AMD 500.000 – 1.000.000 kali lipat jika dibandingkan dengan laju AMD karena aktivitas geokimia (Evangelou and Chang, 1995 dalam Mills, 2004). Dengan demikian, sekali terjadi inisiasi AMD yang dikatalis BOS maka fenomena tersebut hampir-hampir unstoppable. Pemerintah USA dan Kanada memerlukan waktu ratusan tahun untuk mengatasi masalah AMD. Saat ini di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi fenomena tersebut mulai terjadi.
Menurut Untung (1993) proses terbentuknya AMD sangat dipengaruhi oleh karakteristik batuan, kondisi iklim lingkungan dan populasi BOS pada lingkungan tersebut. Gautama (2007) menyebutkan bahwa tambang di Indonesia 95% menerapkan sistem terbuka. Sehingga, sangat diperlukan pemahaman karakteristik hujan, batuan induk, potensi pengasaman biologis di masing-masing wilayah pertambangan.
2.2. Dampak lingkungan terbentuknya AMD
Reaksi AMD berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) pada lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993). Menurut Hards and Higgins (2004) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan.
2.3. Bagaimana menanggulangi AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi AMD. Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
III. PEMBAHASAN
Yang paling berharga dari tanah adalah kesuburannya dan itulah yang menyebabkan kehidupan ini menjadi lestari. Ditengah gegap gempitanya pertambangan batubara, ada yang hilang percuma tanpa harga, padahal nilainya sangat tinggi sekali, yaitu humus tanah atau biasa disebut topsoil, berupa pucuk tanah yang subur mengandung humus. Kenapa topsoil hilang percuma? Karena teknologi pertambangan kita sangat manual, kalau tidak disebut primitif.
Di beberapa negara yang melakukan pertambangan secara ramah lingkungan, memperlakukan topsoil secara hati-hati. Sebelum pertambangan dilakukan biasanya topsoil yang dipotong atau diambil secara hati-hati diamankan dilokasi tertentu, dia diperlakukan layaknya barang berharga dan memang nilainya sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari obyek galian itu sendiri.
Setelah pertambangan selesai, dilakukan reklamasi dan topsoil tadi dikembalikan menjadi pucuk tanah yang berfungsi mengembalikan kesuburan, itupun ketika dilakukan penghijauan harus diawali dengan tanaman tertentu yang mudah beradaptasi dengan kondisi lahan yang baru di reklamasi, tetapi topsoil sangat penting perannya dalam mengembalikan kesuburan lahan bekas pertambangan.
Penambangan batubara berpotensi menyebabkan kerusakan lahan. Lahan bekas tambang ini dapat direklamasi menjadi lahan pertanian dengan menambahkan lapisan tanah yang baik, bahan ameliorant, dan pupuk, menanam tanaman penutup tanah jenis legume dan rumput, serta melakukan pencucian garam-garam.
Penanganan lahan kritis bekas penambangan secara baik dan benar serta pemilihan tanaman yang tepat merupakan kunci keberhasilan reklamasi lahan-lahan tersebut. Berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas lahan kritis bekas penambangan menjadi lingkungan tempat tumbuh tanaman yang cocok dapat dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah yang berperan sebagai pupuk biologis. Beberapa jenis mikroorganisme tanah secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan kesuburan media tumbuh melalui peningkatan unsure hara dalam tanah. Mikroorganisme tersebut diantaranya adalah cendawan mikoriza vesikular arbuskular.
Penggunaan cendawan mikoriza terhadap tanaman kehutanan yang ditanam pada lahan-lahan marginal, seperti lahan-lahan bekas tambang yang tercemar logam berat banyak memberikan keuntungan. Sebagai contoh, inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman Thiocospermum burretii, Acacia mangium, dan paraserianthes falcataria terbukti potensial untuk mereklamasikan lahan kritis bekas penambangan. Jenis-jenis tanaman tersebut pertumbuhannya mampu meningkat 2 – 3 kali lipat disbanding dengan tanaman control.
Perbaikan sifat-sifat tanah setelah penambangan memerlukan pengelolaan dan upaya khusus sehingga tanah dapat berfungsi kembali sebagai media tumbuh tanam. Perbaikan kondisi tanah timbunan setelah penambangan dapat dilakukan dengan menambahkan lapisan tanah yang baik, bahan ameliorant dan pupuk, menanam tanaman penutup tanah jenis legume dan rumput, serta melakukan pencucian garam-garam.
Bahan timbunan yang mengandung fragmen batu liat, batu lanau, dan batu bara muda tidak sesuai sebagai media tanaman karena miskin unsur hara dan mempunyai sifat fisik dan kimia kurang baik.Fragmen batuan tersebut sangat keras/kompak dan sulit ditembus oleh akar. Agar berfungsi sebagai media tanaman, bahan timbunan dilapisi dengan lapisan tanah yang baik.
Bahan ameliorant dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Bahan ameliorant dapat berupa bahan organic, kapur, dolomite, gypsum dan abu batubara. Bahan organic merupakan amelioran terbaik untuk meperbaiki sifat tanah. Bahan organic merupakan ameliorant terbaik untuk memperbaiki sifat tanah. Bahan organic dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat/menahan air, sebagai perekat dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah. Bahan organic dapat berupa pupuk kandang, kompos, sekam, dan hasil pangkasan tanaman penutup tanah.
Untuk menunjang pertumbuhan dan menjamin ketersediaan hara yang cukup, tanah timbunan memerlukan pemupukan. Pupuk yang dapat digunakan antara lain adalah urea,P-alam/SP36, dan KCl. Tanaman penutup tanah jenis legume dan rumput dapat mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Hasil pangkasan dapat digunakan sebagai mulsa untuk mengurangi evaporasi, menghambat naiknya garam-garam kepermukaan tanah, dan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Tanaman legume yang dapat digunakan antara lain adalah centrosema pubescens, Peuraria javanica, dan Calopogonium mucunoides serta untuk rumput adalah vetivenia zizanoides, Paspalium sp, Brachiaria decumbens, dan Panicum Maximum.
Untuk mengurangi kadar garam yang tinggi dapat dilakukan pencucian garam-garam. Biasanya bila turun hujan, garam-garam yang terdapat dipermukaan tanah akn larut dan hanyut terbawa aliran permukaan. Namun untuk mempercepat proses pencucian, pada areal timbunan perlu dilengkapi saluran pembuangan air. Penanaman dilakukan pada guludan atau bedengan.
Kegiatan pertanian dapat dilakukan seiring dengan kegiatan penghijauan dengan menanami lahan timbunan dengan tanaman pepohonan. Pada lahan pertimbunan di Tanjung Enim Sumatera Selatan, tanaman tahunan penghijauan yang dapat beradaptasi adalah albizia, sungkai, gamal, angsana, randu, dan lamtoro. Tanaman perkebunan dan kehutanan yang dapat beradaptasi yaitu jambu mete, kemiri, sukun, nangka, bamboo mahoni, johar, mindi dan mangium. Lahan timbunan yang telah di reklamasi dapat pula dimanfaatkan untuk tanaman palawija seperti kedelai, jagung, ubi kayu, dan kacang tunggak.
Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen kehutanan, 1997).
Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya ( Direktorat Jenderal Mineral batubara dan Panas Bumi Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008).
Vegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang, vegetasi mencakup establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran pemukiman, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan ini secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas dan kualitas air.
Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan pokok pertambangan. Pada pasal 30 dari Undang-undang tyersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan pertambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa penambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian ruga sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang perubahan kedua atas PP No. 32/1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pertambangan pasal 46 ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah kawasan pertambangannya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamnan terhadap membahayakan keamanan umum.
Pasal 48 ayat(5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum meninggalkan bekas wilayah KP.
Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M/PE/1995 tentang Pencegahan dan penanggulanganPerusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan pertambangan umum. Pada Pasal 12 aat (1) reklamasi areal bekas`tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
IV. PENUTUP
1. Cendawan mikoriza pada tanaman adalah terjadinya peningkatan penyerapan hara mineral bagi tanaman, mengakumulasi logam-logam berat yang bersifat toksik pada daerah-daerah penambangan.
2. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya
3. Bahan ameliorant dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Bahan ameliorant dapat berupa bahan organic, kapur, dolomite, gypsum dan abu batubara. Bahan organic merupakan amelioran terbaik untuk meperbaiki sifat tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Delvian, Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Reklamasi Lahan Pertambangan, Universitas Sumatera Utara
Enny Widyati, Air Asam Tambang Indonesia, Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan),file:///D:/%5BArtikel%5D%20Enny%20Widyati%20%C2%AB%20Air%20Asam%20Tambang%20%E2%80%93%20Indonesia.htm
Ismed Inonu, Pemanfaatan lahan Pasca Tambang, Dosen Fakultas Pertanian dan Biologi Universitas Bangka Belitung Indonesia
Vita Krisna Dewi, Peningkatan Nilai Guna Lahan Kritis di Propinsi Kalimantan Timur, Universitas Mulawarman, Lokakarya Nasional
Intan Ratna Dewi, Peran Prospek dan Kendala Dalam Pemnfaatan Endomikoriza, Universitas Pertanian Padjadjaran, Jatinangor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar